Bila tadi kita membicarakan orang yang berniat melakukan amal shalih, lalu mengurungkan niatnya itu tanpa ada udzur maka dia akan mendapatkan pahala satu kebaikan. Sedang dalam pembahasan ini adalah orang yang berniat sungguh-sungguh ingin melaksanakan suatu amal shalih, tapi kemudian tidak sanggup melaksanakan niatnya lantaran udzur atau hal yang membuatnya terpaksa mengurungkan niatnya.
Dalam hal ini ada sebuah hadits dari Anas bin Malik ra yang berkata, ”Kami pulang dari perang Tabuk bersama Nabi SAW. Beliau sempat berkata,
إِنَّ أَقْوَامًا بِالْمَدِينَةِ خَلْفَنَا مَا سَلَكْنَا شِعْبًا وَلاَ وَادِيًا إِلاَّ وَهُمْ مَعَنَا فِيهِ حَبَسَهُمْ الْعُذْرُ
”Sungguh ada sekelompok orang yang kita tinggalkan di Madinah dan tidak ikut bersama kita melewati jalan kecil atau menyeberangi lembah, tapi mereka bersama kita, mereka terhalang oleh udzur.”
(HR. Al-Bukhari, no. 2839).
Sedang dalam riwayat Abu Daud redaksi sabda Rasulullah SAW adalah, ”Kalian sudah meninggalkan sekelompok orang di Madinah yang tidak melakukan perjalanan bersama kalian, tidak pula menafkahkan harta kepada kalian, tidak pula menyeberangi lembah bersama kalian, tapi mereka ada bersama kalian.” Para sahabat bertanya, ”Wahai Rasulullah, bagaimana mereka bisa bersama kita padahal mereka ada di Madinah?” Beliau menjawab, ”Mereka terhalangi oleh sakit.” (Sunan Abu Daud, no. 2508).
Riwayat senada juga diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya no. 1911 bersumber dari Jabir. Redaksi akhirnya sama dengan riwayat Abu Daud,
حَبَسَهُمْ الْمَرَضُ
”Mereka terhalang oleh sakit.”
Mereka yang tertinggal di Madinah itu tidak ikut perang bersama Rasulullah SAW dan para sahabat di Tabuk, tapi mereka mendapat pahala yang sama dengan para pejuang yang berangkat. Alasannya, mereka sudah berniat sungguh-sungguh akan ikut Rasulullah SAW ke Tabuk, tapi terjadi suatu dan lain hal di luar batas kemampuan manusia menghalangi mereka, sehingga mereka tidak bisa ikut.
Dalam kehidupan sehari-hari masalah ini sering terjadi. Ada seseorang yang ingin berangkat menunaikan ibadah haji dan dia sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Tapi takdir Allah berkata lain, beberapa bulan sebelum jadwal keberangkatan dia terserang stroke yang menyebabkannya tak bisa beraktifitas. Apa daya niat untuk menjadi tamu Allah pun terpaksa diurungkan bukan lantaran keinginan sendiri, tapi karena faktor yang berada di luar batas kemampuan manusia. Orang seperti ini insya Allah akan mendapatkan pahala haji yang dia niatkan itu secara utuh dan akan dia terima di akhirat nanti. Sehingga, jangan heran bila nanti di akhirat dia akan mendapatkan pahala haji padahal dia belum pernah berhaji. Demikian kira-kira contoh yang mudah kita pahami.
Lalu dari mana bisa diukur kesungguhan niat mereka? Yang bisa mengukur jujur tidaknya niat seseorang hanya Allah. Bahkan manusia yang bersangkutan sendiripun tidak akan bisa mengukur pasti niat mereka. Bisa jadi awalnya ada orang yang berniat akan rajin sedekah bila dia kaya, tapi ketika diberikan kekayaan dia lupa niatnya. Ringkasnya, hanya Allah yang bisa mengetahui jujur niatnya seseorang dan Allah tidak bisa dibohongi, sesungguhnya Dia maha mengetahui segala sesuatu.
Rasulullah SAW mengatakan, ”Dunia ini hanya untuk empat golongan orang:
- Pertama, seorang hamba yang dikarunia oleh Allah harta dan ilmu dan dia bertakwa kepada Allah dalam hal itu, menyambung hubungan kerabatnya dengan itu, dan dia juga tahu hak-hak Allah atas karunia yang dimilikinya. Ini adalah tingkatan yang paling utama.
- Kedua, seorang hamba yang dikaruniai ilmu tapi tidak dikaruniai harta, tapi dia jujur dalam niatnya yang berkata, ’Andai aku memiliki harta niscaya aku akan beramal seperti amalnya si Fulan’. Dia jujur dalam niatnya ini, maka pahala kedua orang ini sama.
- Ketiga, seorang hamba yang dikaruniai Allah harta tapi tidak dikarunia ilmu. Lalu dia mempergunakan harta itu sembarangan tanpa (bimbingan) ilmu, tidak bertakwa kepada Allah, tidak menyambung hubungan kerabatnya dan dia juga tidak mengetahui ada hak-hak Allah pada harta itu. Yang ini adalah tingkatan paling jelek.
- Keempat, seorang hamba yang tidak dikaruniai Allah harta dan tidak pula ilmu dan dia berkata (berniat) ’kalau aku memiliki harta niscaya aku akan melakukan perbuatan seperti perbuatan si Fulan (yang ketiga)’, dan dia jujur dalam niatnya itu maka mereka berdua mendapatkan dosa yang sama.”
(HR. At-Tirmidzi, no. 2325, Ibnu Majah, no. 4228 dari Abu Kabsyah Al-Anmari ra. Al-Albani menyatakanya shahih lighairih dalam Shahih At-Targhib, no. 16).
Perhatikan nasib orang kedua dan keempat, mereka mendapatkan ganjaran yang sama dengan orang pertama dan ketiga berdasarkan niatnya yang tulus. Hanya saja dia tidak bisa melaksanakan niat itu karena dia tidak punya harta. Dia mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang beramal lantaran niatnya yang tulus dan jujur.
* * * * * * *
Di atas adalah kutipan dari buku saya SHAHIH FADHILAH AMAL, bila ini diterapkan kepada wanita yang sedang haidh tentu tepat sekali. Karena, wanita haidh ingin beribadah, ingin shalat dan puasa, ingin baca Al Qur`an dan lain sebagainya, tapi takdir Allah membuatnya tidak bisa melakukan itu semua. Nah, kalau dia sabar dan menerima takdir Allah itu, sambil terus berniat atau menghayalkan dengan tulus dan jujur dari hati sanubarinya yang paling dalam bahwa dia akan melaksanakan ibadah full kalau saja tidak ada halangan, niscaya dia juga akan mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang mengerjakan amalan tersebut. Di sinilah letak kemurahan Allah yang tidak akan menyia-nyiakan niat tulus seorang hamba.
Wallahu a’lam.
Bogor, 26 Ramadhan 1430 H.
Anshari Taslim.
Komentar
Posting Komentar